Kami ingin menafsir ulang pengalaman yang dulu dengan terang pandangan dari “kami-yang-sekarang”. Kita semua tahu bahwa kita toh selalu berkembang bersama dan di dalam sejarah. Perkembangan yang kita alami pasti mempengaruhi cara kita memandang dan menafsir suatu peristiwa. Satu babak hidup kami, terjalani di seminari. Pengalaman di seminari itu bagi kami menjadi sesuatu yang sungguh dahsyat, menyilaukan, sekaligus sulit terpahami dengan tuntas. Sekarang pengalaman itu rasa-rasanya kok terdengar seperti sedang merintih dan memohon kepada “kami-yang-sekarang” untuk dituntaskan kebermaknaannya. Maka bergemalah pertanyaan-pertanyaan ini: Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa keadaan itu demikian? Dan apa artinya itu semua dalam perjalanan ziarah hidupku?
Oleh: Fr. Albertus Doni Kusuma SY
Sangat wajar bila para eksaminator alias para staf penguji seminari bertanya kepada setiap calon seminaris dengan pertanyaan inti dan mendasar, “Apa yang kalian cari di seminari?” Lalu entah karena kaget atau memang belum bisa menjawab secara spontan meluncur dari mulut saya jawaban yang sangat rohani, spiritual dan seringkali sangat muluk (yang tentu saja tidak menyentakkan telinga dan hati para eksaminator karena jawabannya terkesan klasik). Dan ketika saya renungkan kembali jawaban itu saya menggumam dalam hati, “Kowe ki ngomong apa?” (kamu ini sedang berbicara apa?). Sekarang, kalau saya ditanyai lagi dengan pertanyaan serupa saya akan menjawab secara singkat namun padat (dan tentu kali ini menyentakkan telinga) “mencari kelinci!” Lho kok?
Oleh: Fr. Ch. Tri Kuncoro Yekti, Pr.
Sabtu, 24 Januari 1998
23.10
Selamat malam, Kawan!
Benedicamus Domino, teman! DEO GRATIAAAS! Ha.. ha..ha.. masih ingat artinya? Mari kita santap makanan iniii! SERBUUU![1]
sebuah catatan pelanggaran
Oleh: Fr. B. Josie Susilo Hardianto, SJ
Dalam dinamika perkembangan masyarakat tradisional berkembang ritus-ritus tertentu sebagai wadah untuk mengungkapkan ekspresi yang mereka alami entah saat bersinggungan dengan kekuatan alam atau berhadapan dengan realitas sakit dan penderitaan atau suatu harapan serta doa. Ekspresi itu kemudian berkembang menjadi simbol-simbol identitas kelompok, berdinamika dengan masyarakatnya dan kemudian bertumbuh lebih lanjut menjadi sarana perjuangan dan pernyataan diri bahkan menjadi simbol suatu mekanisme survive berhadapan dengan tekanan atau konflik dengan dunia luar. Dalam perkembangan masyarakat modern sistem simbol yang ditimba dari kekayaan simbolisme tradisional dari ritus-ritus ini diperkaya dengan refleksi sistematis dapat menjadi sebuah bentuk gerakan yang solid karena pada dasarnya hal itu telah menjadi akar yang mendarah daging dalam manusia-manusianya, hanya saja, kemudian perlu diperhatikan ke arah mana dan bagaimana kekayaan itu hendak digunakan. Tulisan ini pada prinsipnya mencoba menggunakan sistematisasi yang terdapat dalam perkembangan telaah tentang ritus tradisional dengan bertitik tolak dari pengalaman kejadian atau peristiwa (pelanggaran) yang dialami penulis sewaktu tinggal di Seminari Garum.
(Sebuah refleksi pengalaman makan selama di Seminari Garum)
Oleh: A.S. Tommy Hendrawan, ST
Non vivimus ut edamus, sed edimus ut vivimus. Sepenggal kata bijak berbahasa Latin ini sengaja mengajak kita untuk berolah laku agar dalam menjalani hidup tidak hanya dipenuhi dengan persoalan makanan, apa yang dimakan dan seberapa banyak makanannya; akan tetapi lebih berorientasi kepada pikiran bahwa makanan digunakan atau difungsikan sebagai alat untuk hidup. Jadi bukan sebaliknya, hidup untuk makan. Dan kalau kita masih berkutat soal hidup hanya untuk makan, maka kita tidak akan pernah usai untuk beranjak ke fase kehidupan yang lebih tinggi lagi seperti apa yang pernah diteorikan oleh Maslow.
FIGUR di GARUM
Oleh : Yustinus Sunyoto
Hampir empat tahun tinggal di Seminari Garum, rasanya sudah banyak hal yang sudah diperoleh, kematangan berpribadi dan gambaran yang cukup jelas mengenai masa depan yang seharusnya tidak menakutkan. Setelah sekian lama meninggalkan Seminari, seolah sia-sia, format masa depan tidak juga tampak. Apakah ini yang dimaksud kematangan pribadi ? Jelas tidak.
oleh:S. Wendyat
Tiba-tiba Uskup ada didepanku,
“Kamu mau jadi rektor di Garum nggak?”
Lho-lho, ini ditawari makan atau ditawari jadi rektor. Enak sekali dia ngomong. Sepertinya jadi rektor cuma duduk dan didandani jabatan rektor dan disenjatai hak veto. Kalau begitu memang enak. Asal ngomong, jadilah beres. Mataku cuma terbelalak.
Oleh: F. Asisi Sukoeksi Widanto
Masuknya tentara pendudukan Jepang membawa akibat semakin berkurangnya tenaga imam di Keuskupan Surabaya[1], padahal pelayanan pastoral harus tetap berjalan. Mengharapkan pelayanan pastoral dari imam yang sedang di penjara jelas tidak mungkin, sementara jumlah imam yang bebas sangat terbatas. Situasi ini memicu munculnya dua gagasan, yaitu pertama, mendatangkan tenaga imam dari tempat lain untuk mengatasi kebutuhan tenaga imam dalam jangka pendek; dan kedua memproduksi sendiri imam-imam lokal untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang[2].
MENGGAPAI VISI
oleh: Y.Andik BC
GAMBARAN SEMINARI
Seminari Garum Jayalah
Tumbuh Mekarkan Benih-Benihmu
Ibu Sejati Almamaterku
Majulah ‘tuk sebarkan sabda Allah
“Cinta dan s’luruhku untukmu….
Kuserahkan demi jayamu…”
Tegak Diriku Menjagamu
Rahmat Tuhan ‘kan Slalu bersamamu[1]
Oleh: A. V. Dian Sano
H: “Gini, zaman saya banyak anak yang mencuri, ndableg. Pacaran juga ada. Sekarang ini juga ada. Itu sama, biasa anak muda. Anak muda bandel, kan biasa. Wong Yesus saja bar paskah ndak pulang …. Jadi sampai sekarang itu perbuatan anak muda, psikologis, terjadi; di seminari terjadi.”
W “Kalau dilihat ‘seminarinya’, wajar, ndak?”
H “Wajar! Karena anak muda, kok.”